Minggu, Juli 4

0 komentar
Hukum Membongkar Kuburan


Bolehkah membongkar kuburan muslimin atau kuburan orang-orang kafir?
Jawab:
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu
Dalam hal ini tentunya ada perbedaan antara kuburan orang-orang Islam dan kuburan orang-orang kafir. Membongkar kuburan muslimin adalah tidak diperbolehkan kecuali setelah lumat dan menjadi hancur. Hal itu dikarenakan membongkar kuburan tersebut menyebabkan koyak/pecahnya jasad mayit dan tulangnya, sementara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:

كَسْرُ عَظْمِ الَْـمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا


“Mematahkan tulang mayit seperti mematahkannya ketika hidup.”1
Maka seorang mukmin tetap terhormat setelah kematiannya sebagaimana terhormat ketika hidupnya. Terhormat di sini tentunya dalam batasan-batasan syariat.
Adapun tentang membongkar kuburan orang-orang kafir, maka mereka tidak memiliki kehormatan semacam ini sehingga diperbolehkan membongkarnya berdasarkan apa yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim. Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berhijrah dari Makkah ke Madinah, awal mula yang beliau lakukan adalah membangun Masjid Nabawi yang ada sekarang ini. Dahulu di sana ada kebun milik anak yatim dari kalangan Anshar dan di dalamnya terdapat kuburan orang-orang musyrik. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka:

ثَامِنُونِي حَائِطَكُمْ


“Hargailah kebun kalian untukku.”
Yakni, juallah kebun kalian untukku. Mereka menjawab: “Itu adalah untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Kami tidak menginginkan hasil penjualan darinya.”
Karena di situ terdapat reruntuhan dan kuburan musyrikin, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun memerintahkan agar kuburan musyrikin tersebut dibereskan. Maka (dibongkar) dan diratakanlah, serta beliau memerintahkan agar reruntuhan itu dibereskan untuk selanjutnya diruntuhkan. Lalu beliau mendirikan Masjid Nabawi di atas tanah kebun tersebut.
Jadi, membongkar kuburan itu ada dua macam: untuk kuburan muslimin tidak boleh, sementara kuburan orang-orang kafir diperbolehkan.
Saya telah isyaratkan dalam jawaban ini bahwa hal itu tidak boleh hingga mayat tersebut menjadi tulang belulang yang hancur, menjadi tanah. Kapan ini? Ini dibedakan berdasarkan perbedaan kondisi tanah. Ada tanah padang pasir yang kering di mana mayat tetap utuh di dalamnya –masya Allah- sampai sekian tahun. Ada pula tanah yang lembab yang jasad cepat hancur. Sehingga tidak mungkin meletakkan patokan untuk menentukan dengan tahun tertentu untuk mengetahui hancurnya jasad. Dan sebagaimana diistilahkan “orang Makkah lebih mengerti tentang lembah-lembahnya di sana” maka orang-orang yang mengubur di tanah tersebut (lebih) mengetahui waktu yang dengannya jasad-jasad mayat itu hancur dengan perkiraan. (Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani hal. 53)

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah
Pada asalnya tidak boleh membongkar kubur mayit serta mengeluarkan mayit darinya. Karena bila mayit telah diletakkan dalam kuburnya, artinya dia telah menempati tempat singgahnya serta mendahului yang lain ke tempat tersebut. Sehingga tanah kubur tersebut adalah wakaf untuknya. Tidak boleh seorangpun mengusiknya atau mencampuri urusan tanah tersebut. Juga karena membongkar kuburan itu menyebabkan mematahkan tulang belulang mayit atau menghinakannya. Dan telah lewat larangan akan hal itu pada jawaban pertanyaan pertama.
Hanyalah diperbolehkan membongkar kuburan mayit itu dan mengeluarkan mayit darinya, bila keadaan mendesak menuntut itu, atau ada maslahat Islami yang kuat yang ditetapkan para ulama.
Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufiq semoga shalawat dan salam-Nya tercurah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya.
Ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/122)

1 Shahih, HR. Ahmad (6/58, 105, 168, 200, 364) Abu Dawud (3207) Ibnu Majah (1616) dan yang lain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, lihat Irwa`ul Ghalil: 763, Ahkamul Jana`iz, hal. 233.



Melepas Sandal Ketika Masuk Kuburan

Apakah melepas sandal waktu di kuburan itu sunnah atau bid’ah?

Jawab:
Disyariatkan bagi yang masuk kuburan untuk melepas kedua sandalnya, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Basyir bin Al-Khashashiyyah radhiyallahu 'anhu, ia mengatakan:
Ketika aku berjalan mengiringi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata ada seseorang berjalan di kuburan dengan mengenakan kedua sandalnya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:

يَا صَاحِبَ السَبْتِيَّتَيْنِ أَلْقِ سَبْتِيَّتَيْكَ


“Hai pemakai dua sandal tanggalkan kedua sandal kamu!”
Orang itu pun menoleh. Ketika dia tahu bahwa itu ternyata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia melepaskannya serta melemparkan keduanya. (HR. Abu Dawud)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: “Sanad hadits Basyir bin Al-Khashashiyyah bagus. Aku berpendapat dengan apa yang terkandung padanya kecuali bila ada penghalang.”
Penghalang yang dimaksudkan Al-Imam Ahmad adalah semacam duri, kerikil yang panas, atau semacam keduanya. Ketika itu, tidak mengapa berjalan dengan kedua sandal di antara kuburan untuk menghindari gangguan itu.
Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufiq, semoga shalawat dan salam-Nya tercurah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya.
Ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/123-124)


Menggabungkan Dua Niat Dalam Satu Shalat

Bolehkah memadukan dua shalat dengan satu niat, seperti sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid?
Jawab:
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t
Yang lebih baik adalah masing-masing niat diberi haknya dari shalat, tahiyyatul masjid 2 rakaat dan sunnah wudhu 2 rakaat. Adapun ketika melakukan satu ibadah dengan diringi tambahan satu niat (yang lain), yakni menjadi dua niat, maka ini ditulis baginya niat amal selebihnya. Dan amal kebaikannya ini dilipatgandakan 10 kali lipat (bahkan) sampai 100 hingga 700 kali lipat. Allah Subhanahu wa Ta'ala melipatgandakan bagi siapa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala kehendaki.
Jadi ketika ditulis juga baginya pahala niat amal tambahan ini, dilipatgandakan pula amal kebaikannya itu (yakni) ketika dia menyertakan niat lain bersamaan dengan amal tersebut dengan niatnya.
Niat itu sendiri tidak dilipatgandakan sehingga ditulis satu kebaikan. Maka bilamana seseorang shalat sunah fajar dan sekaligus tahiyyatul masjid, kita anggap bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menuliskan baginya 100 kebaikan, maka ditambahkan kepada 100 kebaikan sunah fajar tersebut (pahala) satu tahiyyatul masjid, kalau begitu ditulis baginya (pahala) satu niat (tahiyyatul masjid, pent.).
Adapun bila dia shalat 2 rakaat tahiyyatul masjid dan 2 rakaat sunnah fajar, maka akan ditulis baginya 100 tambah 100 atau 10 tambah 10, sebagaimana tersebut dalam hadits. Kalau begitu kita bisa gambarkan dengan tiga gambaran, berdasarkan keutamaannya sesuai dengan urutan ini:
Yang paling utama, untuk tiap niat shalat dengan shalat tersendiri.
Gambaran kedua: shalat 2 rakaat dengan dua niat
Gambaran ketiga: satu shalat dengan satu niat.
Inilah perincian shalat yang lalu, agar tidak disangka oleh orang yang (salah) sangka bahwa orang yang shalat 2 rakaat dengan dua niat bahwa akan dituliskan baginya dua shalat. Tidak. (Bahkan) yang seperti ini ditulis baginya satu shalat tambah satu niat kebaikan. Dan satu niat baik ini kita ketahui dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
“Bila hamba-Ku bertekad untuk melakukan satu amal kebajikan lalu ia terhalangi untuk mengamalkannya, Aku tulis baginya satu kebaikan. Dan bila dia melakukannya Aku tulis baginya 10 kebaikan sampai 100 kebaikan sampai 700 kebaikan bahkan sampai berlipat ganda, dan Allah melipatgandakan sesuai yang Allah kehendaki.”1 (Shahih, HR. Muslim dan yang lainnya)
Demikian pula puasa-puasa sunah dan yang lainnya. (Fatawa Al-Albani, hal. 273)

1 Dalam Shahih Muslim, lafadznya adalah sebagai berikut:

قَالَ اللهُ عز وجل: إِذَا هَمَّ عَبْدِي بِحَسَنَةٍ وَلَـمْ يَعْمَلْهَا كَتَبْتُهَا لَهُ حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، وَإِذَا هَمَّ بِسَيِّئَةٍ وَلَـمْ يَعْمَلْهَا لَـمْ أَكْتُبْهَا عَلَيْهِ فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا سَيِّئَةً وَاحِدَةً


“Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: ‘Bila hamba-Ku bertekad melakukan suatu amal kebajikan lalu dia tidak mengamalkannya, Aku tulis baginya satu kebaikan. Bila dia melakukannya Aku tulis baginya 10 kebaikan, hingga 700 kali lipat. Dan bila dia bertekad melakukan suatu keburukan lalu dia tidak mengamalkannya, tidak Aku tulis (keburukan) atasnya. Bila dia melakukannya, Aku tulis baginya satu keburukan’.”



Hukum Menjual Barang/Produk Cacat


Pertanyaan: Saya membeli sebuah mobil dan mendapati adanya kerusakan yang parah. Saya lalu menjualnya tanpa memberitahukan cacat tersebut kepada pembeli. Apakah hal ini termasuk al-ghisy (penipuan) atau tidak?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab:
Ya. Ini tergolong al-ghisy (penipuan). Dan telah diketahui bahwa al-ghisy adalah perbuatan haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barangsiapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami.”
Anda wajib meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bertaubat kepada-Nya. Hendaknya Anda segera menyampaikan dan memberitahukan kepada pembeli tentang cacat yang ada pada mobil itu, untuk melepaskan beban Anda. Apabila pembeli mengalah terhadap haknya (yakni menerima mobil itu apa adanya, ed.) maka alhamdulillah. Bila tidak, hendaknya Anda membuat kesepakatan dengan pembeli, baik dengan cara memberikan uang yang setara dengan cacat itu, atau mobil itu diambil kembali dan uangnya dikembalikan. Dan bila tidak terjadi kesepakatan, maka ini merupakan perselisihan yang harus diselesaikan hakim.
Bila Anda sulit mengetahui (keberadaan) si pembeli, maka bersedekahlah atas namanya sesuai nilai cacat itu.
Hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam Allah Subhanahu wa Ta'ala semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabat beliau.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil: Abdur Razzaq ‘Afifi
Anggota: ‘Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud
(Fatawa Al-Lajnah, 13/204, pertanyaan ke-7 dari fatwa no. 1843)
Pertanyaan: Apa hukumnya menjual barang, yang seseorang membelinya dari pabrik dalam keadaan maghsyusyah (ada cacat tapi tidak diberitahukan)?
Al-Lajnah menjawab:
Bila dia ingin menjualnya dalam keadaan tahu bahwa barang itu cacat, dia wajib untuk menjelaskannya kepada pembeli bahwa barang itu ada cacatnya. Bila dia tidak menjelaskannya, maka dia berdosa, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami.”
Hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam Allah Subhanahu wa Ta'ala semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabat beliau.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil: Abdur Razzaq ‘Afifi
Anggota: ‘Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud
(Fatawa Al-Lajnah, 13/205, pertanyaan ke-8 dari fatwa no. 4494)



Bolehkah Menjadi Pembantu/Pelayan Orang Kafir


Pertanyaan: Apakah dibolehkan bagi seorang muslim untuk menjadi pembantu orang non-muslim? Dan bila dibolehkan, bolehkah menyajikan makanan untuk mereka pada siang hari bulan Ramadhan?
Al-Lajnah menjawab:
Islam adalah agama yang toleran dan mudah. Bersamaan dengan itu, Islam adalah agama yang adil. Hukum seorang muslim menjadi pembantu bagi orang kafir, berbeda sesuai dengan tujuannya. Bila tujuannya adalah syar’i, dengan mewujudkan hubungan baik antara dia dengan orang kafir itu sehingga dia bisa mendakwahinya kepada Islam dan menyelamatkannya dari kekafiran dan kesesatan, ini adalah tujuan yang mulia. Dan di antara kaidah yang telah tetap dalam syariat ini: “Sarana-sarana hukumnya seperti hukum tujuannya.” Bila tujuannya adalah perkara yang wajib, maka sarana itu menjadi wajib pula. Dan bila tujuannya adalah perkara haram, maka sarana itu menjadi haram.
Bila dia tidak memiliki tujuan yang syar’i, maka dia tidak boleh menjadi pembantu mereka. Ini terkait dengan perkara-perkara yang sifatnya mubah.
Adapun menjadi pembantu dalam menyajikan makanan dan minuman yang haram, seperti daging babi dan khamr, tidak diperbolehkan secara mutlak. Karena memuliakan mereka dengan menyajikan hal-hal itu merupakan suatu bentuk maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan taat kepada mereka dalam hal kemaksiatan. Juga merupakan bentuk mendahulukan hak mereka daripada hak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seorang muslim wajib berpegang teguh dengan agamanya.
Adapun menyajikan makanan untuk mereka pada siang hari bulan Ramadhan, juga tidak diperbolehkan secara mutlak. Karena ini merupakan perbuatan menolong mereka dalam hal yang Allah Subhanahu wa Ta'ala haramkan. Dan sudah maklum dari syariat yang suci ini, bahwa orang-orang kafir juga terkena seruan (untuk melaksanakan) syariat ini, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang)-nya. Tidak diragukan bahwa puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam, dan orang-orang kafir juga terkena kewajiban untuk melaksanakannya dengan (terlebih dahulu) merealisasikan syaratnya, yaitu masuk Islam. Sehingga, seorang muslim tidak boleh membantu mereka untuk tidak melaksanakan hal yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan atas mereka. Sebagaimana tidak boleh membantu mereka pada perkara yang mengandung penistaan dan penghinaan terhadap si muslim tersebut, seperti menyajikan makanan untuk mereka, dan semacamnya.
Hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam Allah Subhanahu wa Ta'ala semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabat beliau.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil: Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa Al-Lajnah, 14/474-475, fatwa no. 1850)

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan siapalah yang berkenan............